Halaman

Kamis, 25 Juni 2015

Makam Leluhur Peninggalan Budaya Nusantara

Kematian bukanlah the ending atau “riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang menyelimuti sukma.

Menurut agama Islam, seseorang yang menemui ajalnya atau mati dianggap tidak masalah. Peritiwa itu adalah lazim terjadi, atau hal biasa, dan bahkan harus terjadi. Seseorang yang meninggal dunia dalam keadalaan muslim dianggap tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan. Kematian itu baru melahirkan masalah, manakala seseorang tatkala meninggal dunia tersebut dalam keadaan tidak sebagai seorang yang beriman. Seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dijanjikan oleh Allah akan ditempatkan pada tempat yang mulia. Peristiwa kematian hanya dimaknai sebatas berpindah tempat, yaitu dari kehidupan di dunia kemudian beralih ke alam kubur dan berlanjut ke alam yang lebih kekal, yaitu akherat. Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

Makam Puyang Pangeran Desa Manau Sembilan
Makam merupakan tempat dikuburkannya seseorang yang telah meninggal dunia. Pemakaman yang telah ratusan tahun merupakan warisan sejarah dan budaya luhur dan biasanya dimanfaatkan penduduk lokal untuk berziarah. Hampir disetiap Nusantara ditemukan Pemakaman leluhur, termasuk Padang Guci Kabupaten Kaur Bengkulu. Bagi masyarakat Padang Guci khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun. Bahkan sampai saat ini masih bisa dilihat (dalam tradisi ritual) terjadinya interaksi antara leluhur dengan anak turunnya. Interaksi tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah rahasia sejati. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya/menghormati kepada orang-orang pendahulunya (leluhurnya) di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita & leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.

Makam Puyang Riyetabing & Ragegucik Desa Bungin Tambun
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik para leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran, darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak turunnya, para generasi penerus bangsa.

Sebagai generasi penerus bangsa, dalam melanjutkan langkah-langkah kaki di bumi ini, kita tidak dapat meninggalkan warisan sejarah dan budaya luhur bangsa yang besar ini begitu saja. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :

1. Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.

2.  Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.

3. Mencermati dan menghayati semua peringatan yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.

4.  Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.

5.  Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada  buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.

6.  Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.

Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada umumnya. Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai malapetaka untuk diri kita sendiri.

Referensi | Internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar