Halaman

Selasa, 07 Juli 2015

Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung (Titik Awal Peradaban Manusia)

A. Deskripsi Teori

Sebelum kita melangkah jauh membahas tentang Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung di Batu Cagak Kecamatan Tetap Kabupaten Kaur, perlu kita pahami terlebih dahulu tentang beberapa pengertian terkait dengan kegiatan ritual yang dilakukan, antara lain sebagai berikut:

1. Ritual

Upacara ritual sering disebut juga upacara keagamaan. Menurut Bustanuddin (2006 : 96) upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya dinamakan rites dalam bahasa Inggris yang berarti tindakan atau upacara keagamaan. Upacara ritual merupakan kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh sekelompok masyarakat yang diatur dengan hukum masyarakat yang berlaku. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1984 : 190) upacara ritual adalah sistem aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan bagaimana macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada masyarakat yang bersangkutan. Upacara ritual memiliki aturan dan tatacara yang telah ditentukan oleh masyarakat atau kelompok pencipta ritual tersebut, sehingga masing-masing ritual mempunyai perbedaan, baik dalam hal pelaksanaan ataupun perlengkapannya.

Ritual merupakan salah satu perangakat tindakan nyata dalam beragama, seperti pendapat Winnick (Syam, 2005 : 17) ritual adalah “a set or series of acts, usually involving religion or magic, with the sequence estabilished by traditio yang berarti ritual adalah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi, yang dimantapkan melalui tradisi. Hal tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan Geertz (Rostiyati, 1994 : 1) adanya ritus, selamatan atau upacara ini merupakan suatu upaya manusia untuk mencari keselamatan, ketentraman, dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Selamatan ini pada hakekatnya merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di dalamnya. Melalui upacara ritual atau selamatan masyarakat berharap akan rasa aman dan tidak terjadi bencana.
 
Perjalanan menuju lokasi ritual

2. Religi (Religion) dan Seni Prasejarah

Religi ( religion) dalam konteks prasejarah bukanlah mengandung arti mengenai kondisi agama seperti sekarang ini, namun pada tingkat perkembangan mula-mula konsepsi religi berhubungan dengan masalah kehidupan dan kematian. Gagasan ini pada gilirannya melahirkan interaksi antara yang telah mati dan yang masih hidup, ( Diman S, 1989:407). Menurut Wallace religi merupakan seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau umtuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Wallace 1966:107). Oleh karena itu hal-hal yang berkenaan dengan religi mencakup pula seperangkat kepercayaan yang berkenaan dengan sesuatu yang bersifat supranatural, simbol-simbol sakral dan berkaitan dengan ekspresi dari emosi manusia dalam lingkup religi, serta nilai-nilai moral yang menghubungkan antara perasaan manusia dengan dunia supernatural.

3. Zaman Prasejarah berdasarkan Ciri-ciri Kehidupan Masyarakat

Makhluk manusia adalah makhluk yang hidup berkelompok dan mempunyai organisme yang secara biologis berbeda dan lebih lemah dari jenis binatang. Namun otak manusia berevolusi paling jauh bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kemampuan otak manusia yang berupa proses berpikir menyebabkan manusia dapat memilah-milah tindakan yang dapat menguntungkan kelangsungan hidupnya. Dalam rangka kelangsungan hidupnya maka manusia merupakan makhluk pembentuk kebudayaan dan manusia juga sebagai pembentuk masyarakat. Karena pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi harus berkelompok.

Masyarakat Prasejarah mewariskan masa lalunya dengan cara: a). Melalui Keluarga, yaitu – Melalui adat istiadat keluarga – Melalui ceritera dongeng b). Melalui Masyarakat, yaitu: – Melalui adat istiadat masyarakat – Melalui pertunjukan hiburan, seperti wayang – Melalui kepercayaan masyarakat, yaitu Dinamisme yaitu kepercayaan bahwa benda-benda disekitar kita memiliki jiwa atau kekuatan. Animisme yaitu kepercayaan kepada arwah nenek moyang. Totemisme yaitu kepercayaan bahwa hewan-hewan tertentu disekitar kita memiliki kekuatan tertentu (gaib). dan Monoisme, yaitu kepercayaan terhadap kekuatan tertinggi yaitu Tuhan.

B. Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung

Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung bertujuan untuk memohon keselamatan, mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan media untuk mengungkapkan rasa hormat kepada para leluhur (Puyang). Selain itu, Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung merupakan suatu media untuk memberikan informasikan kepada semua kaum sejagat raya bahwasanya wilayah Batu Cagak Kabupaten Kaur merupakan titik awal peradaban manusia pada jaman prasejarah atau jaman dimana manusia belum mengenal tulisan. Lokasi ini diyakini oleh para pelaku ritual sebagai titik awal peradaban manusia berdasarkan petunjuk/ilham Ghaib yang disampaikan oleh leluhur (Puyang/Wali Allah) kepada keturunannya.


Suasana Ritual
Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, dimulai dari mempersiapkan sesaji yang merupakan salah satu sarana upacara yang tidak bisa ditinggalkan pada saat upacara ritual, dilanjutkan dengan permohonan keselamatan para anggota kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemudian menyampaikan penghormatan, maksud dan tujuan ritual dengan cara berinteraksi langsung kepada leluhur (puyang) yang mereka yakini.

Upacara Ritual Membuka Pintu Pangkalan Agung dilaksanakan di Batu Cagak, Kecamatan Tetap, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu. Ritual tersebut diikuti oleh mereka (pelaku ritual) yang merupakan keturunan/titisan dari para leluhur (puyang/wali-wali Allah) berdasarkan SK/bukti yang diperoleh dari petunjuk Ghaib yang datang kepada mereka “(Ma’af, karena alasan tertentu SK/Bukti Ghaib yang mereka perlihatkan kepada penulis tidak bisa ditampilkan)”.

Setelah seluruh rangkaian Upacara Ritual selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan memberikan informasi tentang keberadaan batu-batu yang mereka yakini sebagai peninggalan jejak/tapak para leluhur (Puyang/Wali-wali Allah). Antara lain sebagai berikut :
 
1. Batu Tapak Raden Alif ( Semidang Sakti )

Batu Raden Alif ( Tapak Semidang Sakti)

Merupakan batu yang berdiri tegak lurus dengan ketinggian mencapai 12 meter dan lebar sekitar 6 meter. Diceritakan Batu Raden Alif merupakan Tapak Leluhur (Puyang/Wali Allah) dari Semidang Sakti.

2. Batu Tapak Serunting Sakti


Batu Tapak Serunting Sakti

Merupakan batu yang berdiri tegak lurus berbentuk lonjong dengan ketinggian mencapai 9 meter dan lebar sekitar 5 meter. Diceritakan Batu ini merupakan Tapak/jejak Leluhur (Puyang/Wali Allah) dari Serunting Sakti.

      3. Batu Tapak Selurus Sakti

Batu Tapak Selurus Sakti

Merupakan batu yang berdiri tegak lurus berbentuk lonjong dengan ketinggian sekitar 8 meter dan lebar sekitar 5 meter. Diceritakan Batu ini merupakan Tapak/jejak Leluhur (Puyang/Wali Allah) dari Selurus Sakti yang diilhami untuk menentukan Iya atau Tidak, Benar atau Salahnya segala persoalan sejagat alam.

4. Batu Tapak Semidang Gumay Sakti

Batu Tapak Semidang Gumay Sakti

Merupakan batu yang berdiri tegak lurus berbentuk menyerupai kursi leter L dengan ketinggian sekitar 6 meter dan lebar sekitar 6 meter. Diceritakan Batu ini merupakan Tapak/jejak Leluhur (Puyang/Wali Allah) dari Tapak Semidang Gumay Sakti yang merupakan leluhur (puyang) yang pertama kali berwujud nyata mnapak bumi.

Dan, masih banyak lagi batu-batu lainnya yang diyakini sebagai jejak peninggalan para leluhur (Puyang/Wali Allah), seperti: Batu Tapak Sebelas Raden, Batu Tapak Garuda Sakti, Batu Tapak Lima Panglima, Batu Tapak Balai Buntar, Batu Tapak Balai Umum, dan Batu Tapak Kepala Suku.

.
Terakhir, para pelaku ritual berpesan kepada semua kaum, terkait dengan informasi yang disampaikan tidak ada paksaan untuk percaya atau tidak, menyatakan benar atau salahnya. Semuanya kembali pada keyakinan masing-masing.



"Wallahu A'lam"

KESIMPULAN PENULIS
- Upacara tradisional ataupun ritual merupakan adat kebiasaan yang turun- temurun masih dilaksanakan oleh anggota masyarakat yang perlu kita hormati keberadaanya. Tradisi yang masih dilaksanakan menjadi tanda bahwa tradisi tersebut masih memiliki fungsi bagi masyarakat pendukungnya.

- Keberadaan batu-batu besar yang jumlahnya ratusan di wilayah Batu Cagak perlu pengkajian oleh para ahli untuk mengetahui kebenaran sejarahnya dan perlu dilestarikan jika terbukti merupakan peninggalan Pra Sejarah.

Kamis, 25 Juni 2015

Makam Leluhur Peninggalan Budaya Nusantara

Kematian bukanlah the ending atau “riwayat” yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang menyelimuti sukma.

Menurut agama Islam, seseorang yang menemui ajalnya atau mati dianggap tidak masalah. Peritiwa itu adalah lazim terjadi, atau hal biasa, dan bahkan harus terjadi. Seseorang yang meninggal dunia dalam keadalaan muslim dianggap tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan. Kematian itu baru melahirkan masalah, manakala seseorang tatkala meninggal dunia tersebut dalam keadaan tidak sebagai seorang yang beriman. Seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dijanjikan oleh Allah akan ditempatkan pada tempat yang mulia. Peristiwa kematian hanya dimaknai sebatas berpindah tempat, yaitu dari kehidupan di dunia kemudian beralih ke alam kubur dan berlanjut ke alam yang lebih kekal, yaitu akherat. Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

Makam Puyang Pangeran Desa Manau Sembilan
Makam merupakan tempat dikuburkannya seseorang yang telah meninggal dunia. Pemakaman yang telah ratusan tahun merupakan warisan sejarah dan budaya luhur dan biasanya dimanfaatkan penduduk lokal untuk berziarah. Hampir disetiap Nusantara ditemukan Pemakaman leluhur, termasuk Padang Guci Kabupaten Kaur Bengkulu. Bagi masyarakat Padang Guci khususnya, hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun. Bahkan sampai saat ini masih bisa dilihat (dalam tradisi ritual) terjadinya interaksi antara leluhur dengan anak turunnya. Interaksi tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah rahasia sejati. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya/menghormati kepada orang-orang pendahulunya (leluhurnya) di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita & leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.

Makam Puyang Riyetabing & Ragegucik Desa Bungin Tambun
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik para leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran, darah, bahkan pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak turunnya, para generasi penerus bangsa.

Sebagai generasi penerus bangsa, dalam melanjutkan langkah-langkah kaki di bumi ini, kita tidak dapat meninggalkan warisan sejarah dan budaya luhur bangsa yang besar ini begitu saja. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :

1. Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.

2.  Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.

3. Mencermati dan menghayati semua peringatan yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.

4.  Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.

5.  Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada  buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.

6.  Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.

Diakui atau tidak, banyak sekali kita berhutang jasa kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada umumnya. Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai malapetaka untuk diri kita sendiri.

Referensi | Internet

Arab Pra Islam ( Sejarah Pra Islam )

PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari 6.000 tahun yang lalu adalah dr Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?

Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama, baik di Mesir, Funisia, atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat yng paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Romawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
 
Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikan tentang sejarah peradaban,  tidak pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira'un, Asiria, atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradabanperadaban tsb. Hal ini baru terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.

Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria, dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis, dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapak kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agamaagama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.

Setelah datang izin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orangorang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Romawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Romawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Romawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu. Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Romawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moral di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moral, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama. Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Romawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu, mrk membangun kembali dan mereka membiarkan bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satusatunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Romawi, Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moral tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.

Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Romawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Romawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Romawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Romawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Romawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.

Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah. Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad di samping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.

Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.

Salah seorang pendeta gereja berkata: "Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: "Putera telah diciptakan dari yang tak ada."

Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Romawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup di bawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri ke dalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.

Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Romawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Romawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.

Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Romawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi di sini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar di balik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.

Sumber | Internet

Senin, 22 Juni 2015

Kisah Penemuan Pertama Rafflesia arnoldii

Kisah tentang penemuan pertama sering kali sarat dengan intrik, konflik, dan polemik. Seperti cerita-cerita dalam film. Tidak terkecuali, penemuan besar di masa lalu yang berhubungan dengan Indonesia. Sebagaimana cikal bakal teori evolusi yang secara politis mengangkat nama Charles Darwin dengan mengesampingkan Alfred Russel Wallace, sejarah penemuan bunga Rafflesia lebih mengagungkan Thomas Stamford Raffles dan Dokter Joseph Arnold daripada kontribusi historis seorang dokter bedah yang juga naturalis asal Prancis bernama Louis Auguste Deschamps.


Pada 1791, Deschamps berlayar dengan kapal Prancis bernama L’Esperance ke Samudra Oceania. Misinya, mencari kapal nahas La Perouse yang lenyap di kawasan itu. Alih-alih sukses, ekspedisi itu merana dihantam cuaca, penyakit, dan politik. Dari 119 awak, 89 di antaranya meninggal. Deschamps termasuk yang selamat, meski kapalnya disita Belanda di perairan Indonesia. Sebagai tawanan politik, kapasitas Deschamps sebagai naturalis dimanfaatkan Belanda. Dia diberi tugas menjelajah dan mencatat kekayaan flora di Jawa. Deschamps mengumpulkan banyak spesimen tumbuhan dan menuliskan draf awal “Material toward a Flora of Java”. Termasuk di dalamnya spesimen dan deskripsi sebuah bonggol yang saat mekar menjadi bunga raksasa, yang kelak dinamakan sebagai Rafflesia.

“Bonggol itu ia temukan di Pulau Nusakambangan pada 1797,” papar salah seorang penemu Rafflesia Bengkuluensis di era modern, Agus Susatya."

Agus Susatya - Penemu Rafflesia bengkuluensis di Padang Guci

Setahun setelah penemuan itu, Deschamps pulang ke Prancis membawa semua koleksi temuannya. Masa itu, pasca-Revolusi Prancis, Napoleon Bonaparte membawa armada perang Prancis sebagai kekuatan ekspansif yang ditakuti di daratan Eropa. Deschamps kembali ke Prancis ketika negaranya masih berperang sengit melawan Inggris.

Sial tidak dapat dihindari, mendekati Selat Inggris, kapalnya ditangkap armada laut Inggris. Koleksi-koleksi berharga Deschamps dirampas. Para ahli botani Inggris terkesima melihat bonggol temuan Deschamps. Unik dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dengan latar belakang keagungan tradisi penemuan mereka di bidang ilmu hayat, para ahli Inggris itu menyembunyikan temuan Deschamps untuk “ditemukan kembali” oleh --siapa pun-- orang Inggris.

 “Harus oleh orang Inggris. Bukan Belanda, apalagi Prancis,” kisah Agus yang telah menyusun sedikit nukilan cerita sejarah temuan Rafflesia --yang ia sarikan dari berbagai sumber-- itu dalam buku Rafflesia: Pesona Bunga Terbesar di Dunia (2011).

Dekat masa itu, orang Inggris paling berpengaruh di Hindia Belanda adalah Thomas Stamford Raffles. Ketika Kerajaan Inggris mengambil alih wilayah jajahan Kerajaan Belanda, ia mendapat promosi jabatan sebagai Gubernur Sumatera pada 1818. Raffles berteman baik dengan Dr. Joseph Arnold. Ia seorang ahli bedah yang menggemari penjelajahan. Ketika itu, Arnold telah menulis sejumlah jurnal dan mengoleksi serangga dari Amerika Selatan, Australia, dan Selat Sunda. Singkat cerita, Raffles menerima Arnold sebagai staf naturalis dalam rancangan ekspedisinya yang juga bertujuan mencari sumber rempahrempah dan hasil tambang itu. Arnold selama beberapa pekan belajar secara intensif di London, sebelum berlayar ke Bencoolen (Bengkulu) dan tiba di sana pada 22 Maret 1818. Selama dua hari ekspedisi itu menelusuri Sungai Manna (kini masuk wilayah administratif Kota Manna, Bengkulu Selatan), hingga akhirnya, pada tahun yang sama, Arnold pertama kali melihat jenis Rafflesia di sebuah kawasan bernama Pulo Lebbar (sekarang jadi nama administrasi desa di Kecamatan Pino Raya, 30 kilometer dari Kota Manna).

Dalam buku The Vegetable World (Harvard College Library, 1833), Charles William dan James Barber Dow mengutip ketercengangan Arnold lewat surat yang ia kirim untuk temannya, “Dengan bangga saya beritahukan kepada Anda sebuah keajaiban terbesar dalam dunia tanaman....” Sayangnya, belum lengkap Arnold mendeskripsikan temuannya itu, ia meninggal di Padang, Sumatera Barat, pada 26 Juli 1818, karena malaria. Sebagai gantinya, Raffles memanggil dokter dan naturalis lain, William Jack. Nama yang terakhir disebut ini lantas datang ke Bengkulu untuk mendeskripsikan temuan Arnold itu dan menamakan jenis itu sebagai Rafflesia titan. Catatannya dikirim ke London pada April 1820.

Joseph Arnold
Dengan penyebab yang tidak diketahui pasti hingga kini, catatan Jack itu tidak langsung diterbitkan. Itu menurut sebuah versi sejarah. Pada masa yang sama, ada seorang naturalis bernama Robert Brown yang bekerja di London untuk mendeskripsikan bunga dan bonggol yang sama. Setelah temuan Arnold, menurut Agus, berdasarkan penelusuran catatan sejarah, bunga raksasa itu dan bonggol-bonggol spesimen yang telah dikumpulkan dikirim secara bertahap oleh Jack ke London. Bedanya Jack dari Brown: nama yang pertama disebut mendeskripsikannya langsung dari Bengkulu, sementara Brown melakukannya dari Inggris.

Pada 30 Juni 1820, Brown membacakan deskripsi temuan bunga ajaib itu di hadapan anggota Linnean Society of London dan menggemparkan jagat botani. Linnean Society adalah perkumpulan aktif para ahli biologi yang sangat legendaris; dengan tradisi paling tua di muka bumi. Dalam deskripsinya yang dipublikasikan pada 1821, Brown menamakan bunga jenis baru itu dengan Rafflesia arnoldii R.Br. Penamaan spesies pada kata “Rafflesia” dipilih untuk menghormati Thomas Stamford Raffles sebagai penggagas dan pemimpin ekspedisi. Sedangkan “arnoldii” diambil untuk menandai jasa Joseph Arnold yang melihatnya pertama di Bengkulu. Sementara itu, “R.Br” pada nama binomial itu merujuk pada inisial Robert Brown.

Versi sejarah lain menyebutkan, persoalan durasi penulisan dan pengiriman catatan dari Bengkulu ke London yang makan waktu lama, yang menyebabkan deskripsi Jack tidak segera dipublikasikan dan didahului oleh Brown. Catatan William Jack baru diterbitkan pada Agustus 1820. Dengan begitu, dunia, resminya, mengenal bunga langka hasil temuan menghebohkan itu sebagai Rafflesia arnoldii. Nama Rafflesia titan digunakan “hanya” sebagai sinonim. Dan empat tahun setelah catatan Robert Brown diterbitkan, C.L. Blume menamai jenis Rafflesia yang ditemukan Deschamps di Nusakambangan sebagai Rafflesia patma (1825). Blume adalah seorang Belanda keturunan Jerman yang saat itu menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor.

Source by :
Bambang Sulistiyo dan Joni Aswira Putra | GATRA

Minggu, 21 Juni 2015

Situs Peninggalan Megalitikum Tanah Besemah

Indonesia memiliki peninggalan megalitik yang cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Salah satu peninggalan megalitik penting yang ada adalah megalitik pasemah di wilayah Sumatra bagian selatan. Nilai penting tinggalan megalitik Pasemah terutama adalah pada ketuaan usianya, yang diperkirakan sekitar 2000 tahun sebelum masehi atau sekitar 4000 tahun yang lalu.

Foto © Eddy Hasby
Keberadaan peninggalan situs megalitik Pasemah mulai terangkat setelah penelitian yang dilakukan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870, Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927. Pada awalnya hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut dan melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan berbeda dengan penelitian terdahulu. Ia pendapat bahwa peninggalan megalitik di Pasemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Pasemah, ia menghasilkan publikasi lengkap tentang megalitik di daerah tersebut.

Magister Seni Rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, A. Erwan Suryanegara (2004) dalam tesis berjudul “Artefak Purba dari Besemah, Analisa Ungkap Rupa Patung Megalitik di Besemah" mengemukakan, "Dari hasil penelitian ini diketahui, manusia pendukung budaya megalitik di Besemah cenderung sudah mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja dari bahan logam (perunggu). Mereka sudah memiliki kemampuan yang baik dalam memahat patung dari batu besar jenis batuan andesit, dengan sudut yang tajam juga runcing. Patung megalitik Besemah secara perupaan wujud fisiknya tampak bersifat dinamis-piktorial dengan gaya ekspresi yang cenderung realistik, tidak mengenal adanya pengulangan bentuk yang sama atau disebut sebagai “tunggal-jamak”, memiliki sikap tubuh yang cenderung condong ke depan, kepala atau wajah sedikit menengadah, dan kaki selalu ditekuk atau dilipat. Sosok objek yang divisualkan cenderung jamak berupa manusia ras austronesoid dan binatang, serta dilengkapi pula dengan simbol maupun atribut. Berdasarkan ungkap rupa simboliknya diketahui, bahwa patung tersebut adalah representasi dari arwah nenek moyang sesuai kosmologi masyarakat Besemah di kala itu, dan sebagai bagian tidak terpisahkan dari upacara maupun ritual mistis dalam rangka pemujaan terhadap arwah leluhur. Ciri khas patung megalitik Besemah adalah pada gaya perupaannya yang bersifat dinamis-piktorial dan cenderung realistik, merupakan karya patung megalitik terbaik di zamannya khususnya yang berada di wilayah Besemah, karena telah memvisualkan seluruh anggota badan (kepala, badan, kaki, dan tangan) dari sosok objeknya secara lengkap, baik berupa manusia dengan tipe ras austronesoid maupun binatang. Patung-patung megalitik Besemah juga merepresentasikan suatu masyarakat yang berbudaya mistis – agraris dengan pola peladang, dan berjiwa patriotik."

Menurut Wijaya (2007) semua patung peninggalan budaya Megalitik yang kini masih ada di dataran tinggi Pasemah, seperti di dusun Tinggi Hari, Pulau Panggung (Tanjung Sirih), Geramat, Karang Dalam, Tebingtinggi, Pagaralam Pagun, Belumai, Tanjung Aro, serta Tegur Wangi, menunjukkan karakter dinamis. Misalnya, patung “Macan Kawin” -berdasarkan penyebutan masyarakat setempat yakni di Dusun Pagaralam Pagun-menunjukkan gerak dan sikap tubuh yang tidak simetris dan terlihat atraktif. Penampilan peninggalan budaya megalitik Besemah sangat "sophiscated" dengan tampilnya pahatan-pahatan yang begitu maju, dan digambarkan alat-alat yang dibuat dari perunggu memberikan tanda bahwa megalitik Besemah telah berkembang dalam arus globalisasi (pertukaran) budaya yang pesat. Alat-alat perunggu yang dipahat adalah nekara yang merupakan kebudayaan Dongson, Vietnam. Temuan peninggalan megalitik di Besemah begitu banyak variasinya, berdasarkan survei yang dilakukan peneliti Balai Arkeologi Palembang, Budi Wiyana telah menemukan 19 situs megalitik baik yang tersebar secara mengelompok maupun sendiri (1996).

Kemajuan budaya dengan teknologinya dapat juga dilihat dari kemampuan nenek moyang dalam mengatur batu-batu yang berukuran sangat besar, misalnya pada pembuatan kubur batu. Penguasaan teknologi juga dapat dilihat dari adanya lukisan dinding dalam kubur batu. Sebagain besar lukisan telah hilang namun jejak-jejaknya masih dapat ditemukan dengan jelas di situs Tanjung Aro, dan situs Gunung Megang(Jarai).

Pada artefak-artefak sezaman itu di Jawa, tidak ditemukan patung-patung utuh atau lengkap seperti di Pasemah. Yang ditemukan, berupa dolmen (batu besar penutup kubur), menhir (tiang batu besar, monumen), atau lumpang batu. Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, yang hingga kini masih berlangsung tradisi megalitik itu, juga tidak ditemukan patung-patung sedinamis dan selengkap patung-patung di Pasemah. Yang ada, hanya patung-patung berbentuk totem (hanya kepala dan badan) yang bersifat kaku. Ini menunjukkan pematung-pematung lahir dari sebuah kebudayaan yang memiliki cita rasa seni dan budaya yang tinggi. Menariknya, kebesaran karya patung-patung di Pasemah ini, pada zaman itu, hanya berada di Pasemah. Pada waktu yang sama, di Eropa dan sebagian besar Asia, serta Amerika dan Afrika, hanya ditemukan patung-patung berbentuk totem dan artefak megalitik lainnya yang bersifat statis atau kaku. Kemajuan budaya masa itu juga dapat diamati dari arca-arca yang ada. Arca-arca manusia di situs Tinggi Hari, Tanjung Telang, Tegur Wangi, Belumai, dan Geramat telah memakai atribut yang menunjukkan kemajuan budaya. Hal ini dapat diamati dari pakaian, hiasan kepala, kalung, hingga gelang kaki yang dikenakan. Interaksi manusia dengan binatang juga menunjukkan kemajuan budaya, misalnya manusia menunggang kerbau (situs Belumai), manusia menunggang rusa (situs Geramat), manusia menggendong gajah (situs Tanjung Telang), dan manusia dililit ulat (situs Tanjung Aro).

Suku Pasemah/Besemah/Pasoemah/Passumah adalah Suku Manusia Purba di Sumatera, sebagaimana tertulis di diorama Monas (Monumen Nasional) di Jakarta yang merupakan ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ahmad Grozali Mengkrin, Penulis angkatan Balai Pustaka dengan tulisannya yang terkenal Syair Si Pahit Lidah, mempunyai pendapat tentang Sejarah Sriwijaya. Judul Manuskrip yang ditulis oleh penulis Balai Pustaka itu adalah “ Ringkasan Sedjarah Sriwidjaja Pasemah”. Beliau mengemukakan pendapatnya tentang Sriwijaya sebagai berikut :

“Pada tahun 101 Syaka ( bertepatan dengan tahun 179 Masehi ) Sekitar abad 2 (kedua) Masehi terdapat (1) Bukit Siguntang “27” M sebagai apung pertama (Plg); (2) Kute Abung Bukit selera, sebagai apung tengah; dan (3) Daratan tinggi tanah basemah dengan puncaknya Gunung Dempu, Sebagai Apung Kulon (apung barat). Kute Abung bukit Serela adalah bukit serela di Kabupaten Lahat, yang sekarang dikenal juga dengan nama Bukit Jempol. Di situ ditemukan Jangkar Jung kuno yang berasal dari awal abad Masehi. Daerah itu dikenal juga dengan sebutan Abung tinggi. Bukit Serela atau Bukit Jempol itu tingginya 670 M di atas permukaan laut”.

Banyaknya peninggalan megalitik di tanah Besemah adalah suatu petunjuk bahwa kawasan tersebut sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.000 tahun Sebelum Masehi. Pahatan dan detail yang halus menunjukan pada masa itu suku Besemah sudah mengenal logam.

Referensi
wikipedia.org
www.soembaybesar.com
www.eddyhasby.com

DARI LAMPIK EMPAT MERDIKE DUE, SINDANG MERDIKE KE KOTA PERJUANGAN (Besemah History)

Suku Terpenting di Sumsel

Suku Besemah, yang sering disebut sebagai suku yang suka damai tetapi juga suka perang (Vrijheid lievende en oorlogzuchtige bergbewoners), adalah suku penting yang terdapat di Sumatera Selatan. Pada zaman Sebelum Masehi (SM), pada peta yang dibuat oleh Muhammad Yamin, belum tampak nama suku-suku lain yang tercantum, kecuali suku Besemah.


  
Local Jenius

Suku Besemah, sebagai salah satu pemilik kebudayaan Megalitikum, disebut suku yang memiliki “local genius”. Tetapi sayang, “tidak diwariskan” kepada anak-cucu (keturunannya).

Asal-usul Suku Besemah

Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling. Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya Bujang Jawe (Puyang Diwate), puyang Mandulike, puyang Sake Semenung, puyang Sake Sepadi, puyang Sake Seghatus, dan puyang Sake Seketi yang menjadikan penduduk Jagat Besemah (Lihat Bagan Alir).

Mitos/Legenda Suku Besemah

Cerita tentang asal-usul suku Besemah sangat mistis, irasional, dan sukar dipercaya kebenarannya. Masalahnya bukan persoalan benar atau salah, dipercaya atau tidak, akan tetapi unsur yang sangat penting dalam mitos atau legenda adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat (jeme Besemah).

Mitos atau legenda ini dapat menjadi antisipasi disintegrasi kesatuan dan persatuan jeme Besemah di mana pun mereka berada. Hal ini sudah sudah tampak dalam beberapa dekade, terutama setelah pemerintahan marga dihapuskan (UU No.5 Tahun 1979). Perlu selalu ditanamkan perasaan dan keyakinan bahwa jeme Besemah itu (termasuk jeme Semende dan jeme Kisam) berasal dari satu keturunan

BERDIRINYA DUSUN DI JAGAT BESEMAH

Puyang Kunduran membuat dusun Masambulau (Ulu Manak) dan di kemudian hari anak-cucunya membuat dusun Gunungkerte, termasuk Sumbay Besak (Sumbay Besar); Puyang Keriye Beraim membuat dusun Gunungkaye, dan Sumur. Kemudian anak-cucu Keriye Beraim membuat dusun Talangtinggi dan Muarajauh (Ulu Lurah), Puyang Belirang membuat dusun Semahpure dan anak cucunya pindah pula membuat dusun di Ulu Manak. Puyang Raje Nyawe pindah pula membuat dusun Perdipe, Petani dan Pajarbulan. Anak cucunya pindah pula membuat dusun Alundua, Sandarangin, Selibar, Rambaikace, Sukemerindu, Kutaraye, Babatan, Sadan, Nantigiri, Lubuksaung, Serambi, Bendaraji, Ulu Lintang; Bangke, Singapure, Buluhlebar, Gunungliwat, Tanjungberingin, Ayikdingin, Muarasindang, Tebatbenawah, Rempasai, Karanganyar, semuanya masuk Sumbay Besak. Puyang Raje Nyawe pindah ke Semende, membuat dusun Pajarbulan. Puyang Raje Nyawe kembali ke dusun Perdipe menyebarkan agama Islam dan adat istiadat perkawinan secara islami. Dari Semende banyak penduduk yang pindah ke Kisam dan masih banyak cerita mengenai pendirian dusun-dusun di Tanah Besemah ini.

Sistem Pemerintahan Tradisional

Sistem pemerintahan tradisional di daerah Besemah disebut Lampik Empat Merdike Due yang dipimpin oleh kepala-kepala sumbay. Besemah waktu itu merupakan suatu “republik” yang paling demokratis. Tanggung-jawab dan kesetiaan sangat ketat dibina oleh orang Besemah. Rasa solidaritas dan loyalitas yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan prajurit-prajurit Besemah dapat melakukan perlawanan terhadap Kolonialisme. Hal yang mengiringi rasa solidaritas dan loyalitas yang tinggi itu, baik di dalam keluarga batih, keluarga luas virilokal maupun pada suku Besemah secara umum adalah konsep “dimak kepadunye” dan “dide beganti”.

Sindang Merdike dan Si Penjaga Batas

Status “ Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” dan sistem pemerintahan tradisional “Lampik Empat Merdike Due” menjadi terancam dan sirna setelah kolonialis Belanda dapat mengalahkan perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II melalui Perang Palembang tahun 1819 dan 1821.

Mengenai hubungan dengan Kesultanan Palembang, suku Besemah selalu menganggap dirinya sebagai orang yang bebas, orang merdike. Hubungan Sultan Palembang dengan suku Besemah lebih bersifat suzereinitas daripada souveriginitas (Hens, 1909:12-15) Kewajiban “milir seba” Bukit Seguntang pada tiap tiga tahun sekali, lebih diartikan sebagai nggaghi kelaway tue, Putri Sindang Biduk. Sultan Palembang cukup menghormati orang-orang Besemah, terbukti dengan status yang diberikannya status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” (Grensbewakers).

Suku Besemah sering melakukan, yang menurut istilah Belanda membuat “kerusuhan” (onlusten), membuat “huru-hara” (woelingen), atau mengganggu ketenteraman (rustverstoring). Menyadari bahwa pihak Belanda pasti akan melakukan serangan, orang Besemah membuat benteng-benteng pertahanan yang kuat, disebut kute di beberapa dusun. Misalnya Kute Gelungsakti, Kute Penandingan, Kute Tebatseghut, Kute-agung, Kute Menteralam, dan kute-kute lainnya. Pimpinan militer Belanda memutuskan mengirimkan ekspedisi militernya untuk menghancurkan kekuatan orang-orang Besemah, yang dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Juni tahun 1866.

Belanda mengalahkan Besemah

Oleh karena persenjataan yang lebih modern, pengalaman perang yang cukup, dan pasukan yang terlatih, akhirnya Belanda dapat menguasai satu persatu kute pertahanan prajurit-prajurit Besemah, yaitu Kute dusun Gelungsakti, Kute Penandingan, Kute Tebatseghut, Kute-agung, Kute Menteralam dan lain-lain. Pada pertempuran di kute-kute tersebut terlihat bahwa prajurit-prajurit Besemah lebih memilih kemungkinan mati daripada menyerah, terutama pada pertempuran di Tebatseghut dan Menteralam. Setelah mengalahkan perlawanan di daerah Besemah Libagh (Besemah Lebar), pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Besemah Ulu Manak untuk menangkap tokoh-tokoh pemimpin Besemah yang bersembunyi di daerah ini.

Kekalahan ini menyebabkan rakyat Besemah harus tunduk kepada peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda. Misalnya, mereka harus membayar pajak tanah, pajak rumah, menghentikan perdagangan budak, dan menghentikan kebiasaan menyabung ayam. Peraturan dan ketentuan-ketentuan itu merupakan hal baru dan sangat memberatkan bagi orang-orang Besemah yang tidak ada sebelumnya. Hal ini berarti, status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” menjadi hilang Dengan kekalahan tersebut, mulailah daerah Besemah dijajah Belanda dengan segala penderitaan dan kesulitan ekonomi. Penderitaan ini berlangsung hampir selama 82 tahun.

Perang Pasifik

Kekuasan Belanda yang tampak sangat kuat, dengan mudah dikalahkan oleh balatentara Jepang pada Perang Pasifik di bulan Februari 1942. Pertahanan Sekutu di Laut Jawa dapat dipatahkan. Pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di kepulauan Indonesia. Menyerahnya Belanda kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942, menyebabkan Belanda kehilangan jajahannya di Indonesia.

Di Bawah Penjajahan Jepang

Mulailah babak baru dalam sejarah Indonesia, yakni Indonesia dijajah oleh bangsa Jepang. Rakyat Indonesia semakin menderita di bawah kekuasaan Jepang. Balatentara Jepang ternyata lebih kejam bila dibandingkan dengan kolonialis Belanda. Jepang yang pada awal Perang Asia Timur Raya sangat opensif, berubah menjadi defensif dan tertekan oleh kekuatan Sekutu, sehingga terdesak di berbagai front pertempuran, termasuk di wilayah Indonesia.

Gyugun Kanbu

Untuk mengatasi kekurangan pasukan, Jepang membentuk satuan militer pribumi, yaitu yang disebut Gyugun Kanbu (Infanteri Gyugun). Angkatan pertama Gyugun dilatih di Kota Pagaralam, tepatnya di Balai Istirahat, di belakang rumah sakit Juliana (Juliana Hospital), di jalan ke arah dusun Pematangbange. Dari pusat latihan Gyugun di Pagaralam dihasilkan prajurit dan perwira-perwira yang cakap dan terampil dalam menggunakan senjata, mengatur strategi perang serta teknik-teknik berperang yang kemudian sangat bermanfaat dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Faktor inilah dapat dijadikan sebagai salah satu dasar kriteria untuk menyebut Pagaralam sebagai “Kota Perjuangan”.

Proklamasi Kemerdekaan

Akhirnya Jepang menjerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya (17 Agustus 1945). Tidak semua daerah mengetahuinya pada tanggal tanggal sama, Oleh karena itu pulalah upacara penaikan bendera sang Merah-Putih, tidak sama waktunya antara satu daerah dengan daerah lainnya, termasuk di Kota Pagaralam (tanggal 21-27 Agustus 1945). Upacara penaikan bendera dilaksanakan di halaman toko Datuk Seri Maharajo, ayah Sofjan Rasjad (sekarang Toko Disco). Tokoh-tokoh yang terlibat pada upacara penting itu adalah Kenasin, beberapa orang pemuda Hizbul Wathan, dan Al Munir Rt.

Pendirian KNID/BPKR

Di Pagaralam dibentuk KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah). KNID Pagaralam diketuai oleh M. Siddik Adiem, sedangkan tokoh-tokoh BPKR untuk Kewedanaan Tanah Pasemah, antara lain Harun Sohar, Ruslan, Djarab, Syamsul Bachri Umar, Hamid, Jemair, H. Mansur, Sanaf, dan Yunus.

Pertemuan di Tebat Limau

Sebagai suatu negara yang telah merdeka, Indonesia berusaha mengambil alih kekuasaan politik dan militer, terutama usaha untuk mengambil atau merebut senjata dari tangan Jepang, Mayor Ruslan mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan di Tebatlimau, dekat dusun Pelangkendiday yang dihadiri oleh semua unsur pemerintahan, KNID, wedana, polisi, para pesirah, kepala-kepala sumbay, dan pimpinan TKR/laskar.

Perebutan Senjata

Terjadi pertempuran-pertempuran dengan tentara Jepang di butai-butai Jepang di Gununglilan, Bumiagung, BPM Jerambah Beringin, dan Karangdale. Pada pertempuran-pertempuran di butai-butai Jepang tersebut telah gugur beberapa putera terbaik Besemah, antara lain Mayor Ruslan, Sersan Ansori, Serma Wanar, Musalim, Zainal, Salam, Tulip, Ming, Dung, Marzuki, Zainawi, Jinal, Kamal, Abdullah, Sayit, Kusim, Siakip, dan beberapa orang lainnya yang tidak tercatat. Diharapkan dalam lokakarya yang dilaksanakan hari ini, ada masukan tentang orang-orang yang terlibat.

Setelah balatentara Jepang menyelesaikan tugas yang diberikan Sekutu dan mereka dikembalikan ke tanah airnya, perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir. Belanda (NICA) datang kembali ke Indonesia. Terjadi pertempuran dengan pihak Sekutu/Belanda yang mencapai puncaknya pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam (PLLM) tanggal 1 Januari sampai dengan 5 Januari 1947, Agresi Militer I ( 21 Juli 1947) dan Agresi Militer II (19 Desember 1948). Rakyat Sumatera Selatan melakukan perlawanan sengit, sangat heroik, dan semangat rela berkorban yang sangat tinggi baik harta maupun nyawa, demi untuk mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan yang demikian termasuk juga di Kewedanaan Tanah Pasemah.

Peran Rakyat Besemah dalam PLHLM dan AM I

Pada Agresi Militer I Belanda, rakyat di Kewedanaan Tanah Pasemah belum secara langsung berperang di daerahnya karena Belanda belum berhasil sampai ke sana. Namun mereka telah ikut berperan pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam dan Agresi Militer I, yaitu berupa bantuan berupa bantuan personil (prajurit) dan logistik (beras dan sayur-sayuran). Memang sudah ada usaha Belanda untuk melakukan serangan ke Pagaralam (ibukota Kewedanaan Tanah Pasemah), tetapi niat ini tidak terjadi karena sudah ada Persetujuan Renville tanggal 27 Januari 1948. Berdasarkan persetujuan itu, ditetapkan garis demarkasi ditentukan dusun Tanjungtebat.

Perlawanan Rakyat di Tanah Besemah pada AM II

Pada Agresi Militer II Belanda (Desember 1948), ada tiga daerah yang menjadi target sasaran, yaitu Muaradua (sekarang OKU Selatan), Tebingtinggi, dan Pagaralam.Pertahanan Kota Pagaralam dibebankan kepada Batalyon XVI STP (Sub Teritorium Palembang) yang berkekuatan enam kompi, yaitu Kompi I Kapten Satar, Kompi II Lettu Ichsan, Kompi III Lettu Yahya Bahar, Kompi IV Lettu Nahwi, Kompi V Lettu Adenan Ibrahim, dan Kompi VI Vandrig H.S. Simanjuntak.

Untuk mempertahankan kota Pagaralam ini, dibentuk tiga front, yaitu Front Mingkik untuk menghadapi pasukan Belanda di luang Ndikat, Front Selangis untuk menghadapi pasukan Belanda yang akan masuk lewat simpang Rantau-unji, dan Front Padangkaghit (Onderneming kopi yang dulunya milik Belanda). Front Padangkaghit dipimpin Lettu Yahya Bahar. Untuk menghambat pasukan Belanda yang akan masuk lewat Tanjungtebat, Jerambah Ndikat terpaksa dihancurkan. Penghancuran ini dilakukan oleh prajurit Agam dan kawan-kawan.

Pimpinan pasukan Belanda yang sejak awal memperkirakan bahwa luang Ndikat sukar ditembus, juga melakukan pengiriman pasukan melalui jalan Jepang, yang bisa tembus ke Simpang Rantau-unji, Front Selangis, Front Padangkaghit, Kota Pagaralam, dan terus ke daerah Impit Bukit . Pasukan TNI, lasykar pejuang, dan rakyat, melakukan perlawanan sengit di Front Selangis Besar. Namun, karena persenjataan yang tidak seimbang, perlawanan ini dapat dipatahkan oleh Belanda. Pasukan TNI, lasykar, dan rakyat pejuang terpaksa melakukan gerakan mundur ke hutan-hutan, untuk selanjutnya melakukan perang gurilah (gerilya), melakukan penghadangan-penghadangan di tempat-tempat strategis dengan memasang landsmijn (ranjau darat).

Politik Bumi Hangus

Pihak TNI, lasykar, dan rakyat pejuang melakukan politik bumi hangus, terutama terhadap bangunan-bangunan milik Belanda, agar tidak dapat dipergunakan lagi oleh pasukan Belanda. Misalnya, pembumihanguskan bangunan di kompleks BPM Jerambah Beringin, Demperiokan, kantor wedana, tangsi polisi, dan bangunan-bangunan di Perkebunan Teh Gunung Dempo.

Peran Tanjungsakti

Tanjungsakti mempunyai peranan yang sangat besar, terutama setelah pimpinan teras TNI, yang sebelumnya bermarkas di Lubuklinggau, dipindahkan ke Curup, ke Muara-aman, dan akhirnya ke Tanjungsakti. Pimpinan teras TNI ini dipimpin oleh Kolonel Bambang Utoyo dan Kepala Stafnya adalah Kapten M. Yunus. Tanjungsakti juga menjadi pusat pemerintahan sipil Keresidenan Palembang yang dipimpin Residen Abdul Rozak. Demikian pula Bupati Amaluddin, Wedana Wani, Wedana Ibrahim, Wedana Abdullah Sani, Sidik Adiem (kepala penerangan), dan lain-lain berada di Tanjungsakti. Dari kepolisian Keresidenan Palembang terdapat nama-nama Komisaris Polisi Sugondo, Inspektur Polisi Taslim Ibrahim, Inspektur Polisi Abdullah Amaluddin. Inspektur Polisi Palma, Yasin, dan Cek Umar. Kepala penerangan dan kepala kesehatan juga berada di Tanjungsakti, serta masih banyak tokoh pejuang lainnya, misalnya Rasyad Nawawi, Satar, Nurdin, Syamsul Bachri Umar (Tatung), Idham, Djarab, Nurdin Ibrahim, Bachrun Umar, Basri, Ali Syarif, Sahid, Munir, Cek Asim, dan lain-lainnya. Dari Tanjungsakti dikendalikan pemerintahan dan pengaturan taktik dan strategi melawan Belanda. Untuk mengatasi kesulitan alat tukar, dicetak uang kertas “OERIP” (Oeang Repoeblik Indonesia Perdjoeangan).

Pasukan Belanda mengetahui tentang keberadaan pemerintahan sipil dan kekuatan militer di Tanjungsakti. Oleh karena itu, mereka melakukan serangan-serangan dengan menjatuhkan bom di beberapa tempat. Beberapa di antaranya meluluhlantakkan beberapa rumah. Tetapi banyak juga yang tidak meledak, yang kemudian digunakan oleh TNI sebagi bahan untuk merakit senjata guna melawan pasukan Belanda. Dapat dikatakan, bahwa Tanjungsakti tidak pernah diinjak oleh kaki tentara Belanda yang ingin menjajah kembali dan Tanjungsakti merupakan satu-satunya pertahanan di Kabupaten Lahat yang mampu bertahan sampai penyerahan kedaulatan bulan November 1949 (mendahului penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949).

Demikianlah kilas balik perjuangan rakyat di Kewedanaan Tanah Pasemah, mulai dari zaman “Lampik Empat Merdike Due”, “Sindang Merdike”, dan “Si Penjaga Batas”, hingga penyerahan kedaulatan, yang karena perlawanan gigih, ulet, dan pantang menyerah dari TNI, Lasykar, Tentara Pelajar, Pemuda Putri Besemah di Pagaralam di sekitarnya, serta rakyat pejuang pada umumnya, tanpa berlebihan dan tanpa perasaan chauvinisme, kita dapat menyebut Kota Pagaralam sebagai “Kota Perjuangan”. Sejarah yang sangat heroik ini perlu selalu dikenang dan dijadikan pedoman dalam mengisi kemerdekaan, juga tidak lupa akan selalu menghormati jasa para pahlawan, khususnya yang gugur di Tanah Besemah. 


Tim Penyusun: Marzuki Bedur, A. Bastari Suan, Eka Pascal, dan Arif Nurhayat Permana
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/06/dari-lampik-empat-merdike-due-sindang.html

Jumat, 19 Juni 2015

Sekilas Asal Usul Padang Guci

Menurut Jurai Tue Pasemah Padang Goetjie (Bpk. Alian Yahya) menyatakan Asal mula Padang Guci adalah dari Besemah Lebar (Besemah Besak) yaitu dari Gumay Ulu (Puyang Ratu Talang Nangke, beliau adalah bapaknya Puyang Khedum), kemudian bermigrasi melalui Kote Agung menuju Bukit Raje Mendare di sebelah barat terletak diantara perbatasan 3 (tiga) Provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu.

Sumber gambar : Opini Sebuah Nurani
Puyang Khedum sebagai Radja Soembai Besar menapak atau membuat Soembai Besar Pasemah Padang Goetjie, tepatnya di dusun “Suro Mekkah” sebelah barat Bukit Radje Mendare. Batu tapak Puyang Khedum masih ada di Makam Puyang Soembai besar di Bandar Agung muara Air Padang Goetjie. Batu Tapak Puyang Khedum dipindahkan dari dusun Suro Mekkah ke Bandar Agung pada masa pemerintahan Puyang Masyarip dan Puyang Mohamad Resip.
Ia mengatakan soembai-soembai yang ada di Pasemah secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) Soembai yaitu:

1. Soembai Besar (asal mulanya dari Gumay Ulu, di atas Pulau Pinang Lahat).
2. Soembai Penjalang (asal mulanya di Meringang lahat)
3. Soembai Semidang (asal mula dari Lahat). dan,

Seluruh serawai di wilayah Sumbagsel (Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung) sampai ke perbatasan Padang Sumatera Barat adalah soembai semidang. Serawai adalah suku yang bahasanya keluar dari rumus atau pakem kaganga (Rejang) dan kagenge (Pasemah) dan kagongo. Soembai Semidang adalah asal usul suku serawai yang bahasanya merupakan campuran (mix) dari ketiga rumus bahasa tersebut diatas.
Diceritakan Puyang Khedum semasa hidupnya penuh dengan mesteri (keajaiban/karomah) karena beliau dianugerahi ilmu tingkat tinggi, seperti bisa menghilang. Sehingga beliau mempunyai banyak gelar yaitu diantaranya: 

1. Puyang Khedum Tengah Laman, beliau sebagai Radja Soembai Besar dan silam di tengah laman.
2. Puyang Khedum Rabu Samad, beliau pada hari rabu menghilang (silam).
3. Puyang Khedum Meraje lile, beliau sebagai kalifah tidak ada yang mengalahkannya.

Jurai Tue Pasemah  (Bpk. Alian Yahya) mengatakan ketiga gelar itu ditujukan untuk satu orang yakni Puyang Khedum, namun tidak menutup kemungkinan gelar Khedum/Makhedum itu bergilir. Karena menurut bahasa India, Khedum itu adalah Ulama dan Makhedum adalah ulama besar. Jadi masih sulit menentukannya dengan pasti berapa umur Puyang Khedum dan lama masa hidupnya.

Bpk. Alian Yahya menyatakan Besemah dibagi beberapa bagian sebagai berikut:

a. Secara Silsilah Keturunan Raja Pasemah (pemerintahan tradisional) terbagi menjadi:
1. Pasemah Lebar/Besemah Lebar/Besemah Besak.
Pemimpinnya adalah seorang Radja dengan gelar “Tuan Radja” di Gumay, sebagai jurai kebalik-an (Junjungan) terletak di Besemah wilayah Lahat.

2. Pasemah Padang Goetjie.
Pemimpinnya adalah seorang Radja dengan gelar “Radja Ngitjo”, terletak di kaki bukit Raje Mendare (Raja Mahendra) di sebelah barat. Dengan dusun pertamanya adalah Suro Mekkah, sekarang dusun tersebut terletak di ulu desa Manau Sembilan. Seiring waktu pusat pemerintahan pindah ke arah muara air Padang Goetjie yakni di Bandar Agung, Tanjung Agung dan sampai sekarang di desa Tinggi Ari

3. Pasemah Ulu Manna Ulu.
Pemimpinnya adalah seorang Pangeran dengan gelar “Pangeran Tanjung Sakti (Pangeran Buyung), Pangeran Duayu di Pematang Ciwihg manna, Pangeran Seginim, Pangeran Kedurang. Jadi seluruh Sumbai Semidang dari wilayah Kaur (Bintuhan) sampai ke perbatasan Padang (Sumatera Barat) di pimpin oleh seorang Pangeran, termasuk Pangeran Nata Dirja di Selebar Bengkulu.

b. Secara Status Pemerintahan Pasemah Yang Ditentukan (diatur) Oleh Penjajah (Inggris dan Belanda) atau masa “lapik empat merdike due” dibagi menjadi:

1. Pasemah Lebar/Besemah Lebar (di wilayah Lahat)
2. Pasemah Ulu Manna (di sebelah selatan). Oleh Penjajah (pemerintahan Inggris dan Belanda) Pasemah Padang Goetjie di masukkan ke Afdeeling Manna Pasemah Ulu Manna.
3. Pasemah Ulu Lintang (sebelah barat laut).
4. Pasemah Air Keruh (berada jauh di balik Bukit Barisan).
 
Sebagai seorang raja (pemimpin/kalifah) Puyang Khedum pernah mengajarkan islam di daerah kaki gunung bungkuk dan di daerah-daerah lainnya di wilayah Sumatera bagian selatan (Sumbagsel). Puyang Khedum mempunyai adik yang disebut Puyang Khedum Sakti atau Puyang Khedum Belulus, di Soembai Besar Pasemah Padang Goetjie keturunan Puyang Khedum Sakti yang sekarang bermukim di desa Tanjung Kemuning Kab. Kaur (salah satu keturunannya adalah H. Muhamad Nur).

Diperkirakan pada awal tahun Hijriyah (617 M) yaitu tahun ke-13 kenabian Rasulullah Muhammad SAW, Islam sudah ada di pesisir-pesisir pulau Sumatera, terutama diujung barat pulau Sumatera (sekarang provinsi Aceh). Hal ini terjadi karena para saudagar-saudagar islam Arab, Gujarat, Persia sudah melakukan perniagaan atau perdagangan rempah-rempah, emas, perak, gaharu dan barus di wilayah kerajaan Sriwidjaja.

Ini terbukti dua surat yang dikirimkan oleh raja Sriwijaya ke-2 (dua) yaitu raja Sri Indravarman (Sri Indrawarman) kepada Kalifah Mu’awiyah (661-750 M) dan surat kedua kepada Kalifah Umar bin Abdul Azis di Madinah pada tahun 100 H/717 M (61-101 H), yang isinya:

“Dari Raja Diraja-Yang keturunan ribuan raja, yang di istananya terdapat ribuan gajah, dan menguasai dua sungai yang mengairi gaharu, tanaman harum, pala dan barus, yang keharumannya menyebar sejauh dua belas mil – Untuk Raja Arab, yang bertuhankan Esa. Saya memberimu hadiah yang tidak seberapa sebagai tanda sapa dan saya harap anda berkenan mengirimkan seseorang yang bisa mengajar tentang Islam dan menerangkannya kepada saya”.

Dengan isi surat tersebut nyata bahwa islam telah diajarkan ke pusat kerajaan Sriwijaya, pada waktu tahun tersebut dan tahun berikutnya. Sejalan dengan permintaan raja Sriwijaya Raja Diraja Sri Indravarman kepada raja Arab pada tahun 100H/717 M (abad 8 M), yang minta dikirimkan seseorang yang bisa mengajar tentang islam maka terbentuklah “Kalifah Islam” di tanah Sriwijaya Pasemah di “Suro Mekkah” di kaki bukit Radje Mendare (mirip/hampir sama dengan kerajaan Padjadjaran, diawal pemerintahan “Prabu Siliwangi” menganut Budha, namun istri beliau Subang Larang dan anaknya Walangsungsang, Lara Santang, Kian Santang adalah Islam, yang dikelilingi oleh para Syech dan Resi). Begitu juga dengan kerajaan Sriwijaya Pasemah, di awal berdirinya kerajaan Sriwijaya Pasemah atau pada pemerintahan raja pertama menganut Budha, setelah itu baru menganut agama Islam. Jadi rajanya dikelilingi oleh para Syech dan Resi.

Terciptalah dua raja, yakni Raja Gumay sebagai raja/jurai Kebalik-an di Besemah. Sedangkan Radja Soembai Besar yang di pegang oleh keturunan dari “Puyang Ratu Talang Nangke” di Gumay Ulu yaitu “Puyang Khedum (Makhedum)”

Penulis,
Sahoklan Efindi, SE.,MM.
Mayor Laut (S) NRP.13524