Indonesia memiliki peninggalan megalitik
yang cukup banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Salah satu peninggalan
megalitik penting yang ada adalah megalitik pasemah di wilayah Sumatra bagian
selatan. Nilai penting tinggalan megalitik Pasemah terutama adalah pada ketuaan usianya,
yang diperkirakan sekitar 2000 tahun sebelum masehi atau sekitar 4000 tahun
yang lalu.
Keberadaan peninggalan situs megalitik Pasemah mulai terangkat setelah
penelitian yang dilakukan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870,
Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun
1927. Pada awalnya hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi
tempat tersebut dan melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan berbeda
dengan penelitian terdahulu. Ia pendapat bahwa peninggalan megalitik di Pasemah
tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam
jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan
tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop
melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah
Pasemah, ia menghasilkan publikasi lengkap tentang megalitik di daerah
tersebut.
Foto © Eddy Hasby |
Magister Seni Rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, A. Erwan Suryanegara (2004) dalam tesis berjudul “Artefak Purba dari Besemah, Analisa Ungkap Rupa Patung Megalitik di Besemah" mengemukakan, "Dari hasil penelitian ini diketahui, manusia pendukung budaya megalitik di Besemah cenderung sudah mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja dari bahan logam (perunggu). Mereka sudah memiliki kemampuan yang baik dalam memahat patung dari batu besar jenis batuan andesit, dengan sudut yang tajam juga runcing. Patung megalitik Besemah secara perupaan wujud fisiknya tampak bersifat dinamis-piktorial dengan gaya ekspresi yang cenderung realistik, tidak mengenal adanya pengulangan bentuk yang sama atau disebut sebagai “tunggal-jamak”, memiliki sikap tubuh yang cenderung condong ke depan, kepala atau wajah sedikit menengadah, dan kaki selalu ditekuk atau dilipat. Sosok objek yang divisualkan cenderung jamak berupa manusia ras austronesoid dan binatang, serta dilengkapi pula dengan simbol maupun atribut. Berdasarkan ungkap rupa simboliknya diketahui, bahwa patung tersebut adalah representasi dari arwah nenek moyang sesuai kosmologi masyarakat Besemah di kala itu, dan sebagai bagian tidak terpisahkan dari upacara maupun ritual mistis dalam rangka pemujaan terhadap arwah leluhur. Ciri khas patung megalitik Besemah adalah pada gaya perupaannya yang bersifat dinamis-piktorial dan cenderung realistik, merupakan karya patung megalitik terbaik di zamannya khususnya yang berada di wilayah Besemah, karena telah memvisualkan seluruh anggota badan (kepala, badan, kaki, dan tangan) dari sosok objeknya secara lengkap, baik berupa manusia dengan tipe ras austronesoid maupun binatang. Patung-patung megalitik Besemah juga merepresentasikan suatu masyarakat yang berbudaya mistis – agraris dengan pola peladang, dan berjiwa patriotik."
Menurut Wijaya (2007) semua patung peninggalan budaya Megalitik yang kini masih ada di dataran tinggi Pasemah, seperti di dusun Tinggi Hari, Pulau Panggung (Tanjung Sirih), Geramat, Karang Dalam, Tebingtinggi, Pagaralam Pagun, Belumai, Tanjung Aro, serta Tegur Wangi, menunjukkan karakter dinamis. Misalnya, patung “Macan Kawin” -berdasarkan penyebutan masyarakat setempat yakni di Dusun Pagaralam Pagun-menunjukkan gerak dan sikap tubuh yang tidak simetris dan terlihat atraktif. Penampilan peninggalan budaya megalitik Besemah sangat "sophiscated" dengan tampilnya pahatan-pahatan yang begitu maju, dan digambarkan alat-alat yang dibuat dari perunggu memberikan tanda bahwa megalitik Besemah telah berkembang dalam arus globalisasi (pertukaran) budaya yang pesat. Alat-alat perunggu yang dipahat adalah nekara yang merupakan kebudayaan Dongson, Vietnam. Temuan peninggalan megalitik di Besemah begitu banyak variasinya, berdasarkan survei yang dilakukan peneliti Balai Arkeologi Palembang, Budi Wiyana telah menemukan 19 situs megalitik baik yang tersebar secara mengelompok maupun sendiri (1996).
Kemajuan budaya dengan teknologinya dapat juga dilihat dari kemampuan nenek
moyang dalam mengatur batu-batu yang berukuran sangat besar, misalnya pada
pembuatan kubur batu. Penguasaan teknologi juga dapat dilihat dari adanya
lukisan dinding dalam kubur batu. Sebagain besar lukisan telah hilang namun
jejak-jejaknya masih dapat ditemukan dengan jelas di situs Tanjung Aro, dan
situs Gunung Megang(Jarai).
Pada artefak-artefak sezaman itu di Jawa, tidak ditemukan patung-patung utuh
atau lengkap seperti di Pasemah. Yang ditemukan, berupa dolmen (batu besar
penutup kubur), menhir (tiang batu besar, monumen), atau lumpang batu.
Sedangkan di Nusa Tenggara Barat, yang hingga kini masih berlangsung tradisi
megalitik itu, juga tidak ditemukan patung-patung sedinamis dan selengkap
patung-patung di Pasemah. Yang ada, hanya patung-patung berbentuk totem (hanya
kepala dan badan) yang bersifat kaku. Ini menunjukkan pematung-pematung lahir
dari sebuah kebudayaan yang memiliki cita rasa seni dan budaya yang tinggi.
Menariknya, kebesaran karya patung-patung di Pasemah ini, pada zaman itu, hanya
berada di Pasemah. Pada waktu yang sama, di Eropa dan sebagian besar Asia,
serta Amerika dan Afrika, hanya ditemukan patung-patung berbentuk totem dan
artefak megalitik lainnya yang bersifat statis atau kaku. Kemajuan budaya masa
itu juga dapat diamati dari arca-arca yang ada. Arca-arca manusia di situs
Tinggi Hari, Tanjung Telang, Tegur Wangi, Belumai, dan Geramat telah memakai
atribut yang menunjukkan kemajuan budaya. Hal ini dapat diamati dari pakaian,
hiasan kepala, kalung, hingga gelang kaki yang dikenakan. Interaksi manusia
dengan binatang juga menunjukkan kemajuan budaya, misalnya manusia menunggang
kerbau (situs Belumai), manusia menunggang rusa (situs Geramat), manusia
menggendong gajah (situs Tanjung Telang), dan manusia dililit ulat (situs
Tanjung Aro).
Suku Pasemah/Besemah/Pasoemah/Passumah adalah Suku Manusia Purba di Sumatera,
sebagaimana tertulis di diorama Monas (Monumen Nasional) di Jakarta yang
merupakan ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ahmad Grozali
Mengkrin, Penulis angkatan Balai Pustaka dengan tulisannya yang terkenal Syair
Si Pahit Lidah, mempunyai pendapat tentang Sejarah Sriwijaya. Judul Manuskrip
yang ditulis oleh penulis Balai Pustaka itu adalah “ Ringkasan Sedjarah
Sriwidjaja Pasemah”. Beliau mengemukakan pendapatnya tentang Sriwijaya sebagai berikut :
“Pada tahun 101 Syaka ( bertepatan dengan tahun 179 Masehi )
Sekitar abad 2 (kedua) Masehi terdapat (1) Bukit Siguntang “27” M sebagai apung
pertama (Plg); (2) Kute Abung Bukit selera, sebagai apung tengah; dan (3)
Daratan tinggi tanah basemah dengan puncaknya Gunung Dempu, Sebagai Apung Kulon
(apung barat). Kute Abung bukit Serela adalah bukit serela di Kabupaten Lahat,
yang sekarang dikenal juga dengan nama Bukit Jempol. Di situ ditemukan Jangkar
Jung kuno yang berasal dari awal abad Masehi. Daerah itu dikenal juga dengan
sebutan Abung tinggi. Bukit Serela atau Bukit Jempol itu tingginya 670 M di
atas permukaan laut”.
Banyaknya peninggalan megalitik di tanah Besemah adalah suatu petunjuk bahwa kawasan tersebut sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.000 tahun Sebelum Masehi. Pahatan dan detail yang halus menunjukan pada masa itu suku Besemah sudah mengenal logam.
Referensi
wikipedia.org
www.soembaybesar.com
www.eddyhasby.com
Banyaknya peninggalan megalitik di tanah Besemah adalah suatu petunjuk bahwa kawasan tersebut sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.000 tahun Sebelum Masehi. Pahatan dan detail yang halus menunjukan pada masa itu suku Besemah sudah mengenal logam.
Referensi
wikipedia.org
www.soembaybesar.com
www.eddyhasby.com
wow, kirain megalitikum peninggalannya cuma di pulau jawa aja.. Izin dijadikan referensi buat sayanusantara.blogspot.co.id ya. Terima kasih
BalasHapus