Suku Terpenting di Sumsel
Suku Besemah, yang sering disebut sebagai suku yang suka damai tetapi juga suka perang (Vrijheid lievende en oorlogzuchtige bergbewoners), adalah suku penting yang terdapat di Sumatera Selatan. Pada zaman Sebelum Masehi (SM), pada peta yang dibuat oleh Muhammad Yamin, belum tampak nama suku-suku lain yang tercantum, kecuali suku Besemah.
Local Jenius
Suku Besemah, sebagai salah satu pemilik kebudayaan Megalitikum, disebut suku yang memiliki “local genius”. Tetapi sayang, “tidak diwariskan” kepada anak-cucu (keturunannya).
Asal-usul Suku Besemah
Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling. Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya Bujang Jawe (Puyang Diwate), puyang Mandulike, puyang Sake Semenung, puyang Sake Sepadi, puyang Sake Seghatus, dan puyang Sake Seketi yang menjadikan penduduk Jagat Besemah (Lihat Bagan Alir).
Mitos/Legenda Suku Besemah
Cerita tentang asal-usul suku Besemah sangat mistis, irasional, dan sukar dipercaya kebenarannya. Masalahnya bukan persoalan benar atau salah, dipercaya atau tidak, akan tetapi unsur yang sangat penting dalam mitos atau legenda adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat (jeme Besemah).
Mitos atau legenda ini dapat menjadi antisipasi disintegrasi kesatuan dan persatuan jeme Besemah di mana pun mereka berada. Hal ini sudah sudah tampak dalam beberapa dekade, terutama setelah pemerintahan marga dihapuskan (UU No.5 Tahun 1979). Perlu selalu ditanamkan perasaan dan keyakinan bahwa jeme Besemah itu (termasuk jeme Semende dan jeme Kisam) berasal dari satu keturunan
BERDIRINYA DUSUN DI JAGAT BESEMAH
Puyang Kunduran membuat dusun Masambulau (Ulu Manak) dan di kemudian hari anak-cucunya membuat dusun Gunungkerte, termasuk Sumbay Besak (Sumbay Besar); Puyang Keriye Beraim membuat dusun Gunungkaye, dan Sumur. Kemudian anak-cucu Keriye Beraim membuat dusun Talangtinggi dan Muarajauh (Ulu Lurah), Puyang Belirang membuat dusun Semahpure dan anak cucunya pindah pula membuat dusun di Ulu Manak. Puyang Raje Nyawe pindah pula membuat dusun Perdipe, Petani dan Pajarbulan. Anak cucunya pindah pula membuat dusun Alundua, Sandarangin, Selibar, Rambaikace, Sukemerindu, Kutaraye, Babatan, Sadan, Nantigiri, Lubuksaung, Serambi, Bendaraji, Ulu Lintang; Bangke, Singapure, Buluhlebar, Gunungliwat, Tanjungberingin, Ayikdingin, Muarasindang, Tebatbenawah, Rempasai, Karanganyar, semuanya masuk Sumbay Besak. Puyang Raje Nyawe pindah ke Semende, membuat dusun Pajarbulan. Puyang Raje Nyawe kembali ke dusun Perdipe menyebarkan agama Islam dan adat istiadat perkawinan secara islami. Dari Semende banyak penduduk yang pindah ke Kisam dan masih banyak cerita mengenai pendirian dusun-dusun di Tanah Besemah ini.
Sistem Pemerintahan Tradisional
Sistem pemerintahan tradisional di daerah Besemah disebut Lampik Empat Merdike Due yang dipimpin oleh kepala-kepala sumbay. Besemah waktu itu merupakan suatu “republik” yang paling demokratis. Tanggung-jawab dan kesetiaan sangat ketat dibina oleh orang Besemah. Rasa solidaritas dan loyalitas yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan prajurit-prajurit Besemah dapat melakukan perlawanan terhadap Kolonialisme. Hal yang mengiringi rasa solidaritas dan loyalitas yang tinggi itu, baik di dalam keluarga batih, keluarga luas virilokal maupun pada suku Besemah secara umum adalah konsep “dimak kepadunye” dan “dide beganti”.
Sindang Merdike dan Si Penjaga Batas
Status “ Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” dan sistem pemerintahan tradisional “Lampik Empat Merdike Due” menjadi terancam dan sirna setelah kolonialis Belanda dapat mengalahkan perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II melalui Perang Palembang tahun 1819 dan 1821.
Mengenai hubungan dengan Kesultanan Palembang, suku Besemah selalu menganggap dirinya sebagai orang yang bebas, orang merdike. Hubungan Sultan Palembang dengan suku Besemah lebih bersifat suzereinitas daripada souveriginitas (Hens, 1909:12-15) Kewajiban “milir seba” Bukit Seguntang pada tiap tiga tahun sekali, lebih diartikan sebagai nggaghi kelaway tue, Putri Sindang Biduk. Sultan Palembang cukup menghormati orang-orang Besemah, terbukti dengan status yang diberikannya status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” (Grensbewakers).
Suku Besemah sering melakukan, yang menurut istilah Belanda membuat “kerusuhan” (onlusten), membuat “huru-hara” (woelingen), atau mengganggu ketenteraman (rustverstoring). Menyadari bahwa pihak Belanda pasti akan melakukan serangan, orang Besemah membuat benteng-benteng pertahanan yang kuat, disebut kute di beberapa dusun. Misalnya Kute Gelungsakti, Kute Penandingan, Kute Tebatseghut, Kute-agung, Kute Menteralam, dan kute-kute lainnya. Pimpinan militer Belanda memutuskan mengirimkan ekspedisi militernya untuk menghancurkan kekuatan orang-orang Besemah, yang dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Juni tahun 1866.
Belanda mengalahkan Besemah
Oleh karena persenjataan yang lebih modern, pengalaman perang yang cukup, dan pasukan yang terlatih, akhirnya Belanda dapat menguasai satu persatu kute pertahanan prajurit-prajurit Besemah, yaitu Kute dusun Gelungsakti, Kute Penandingan, Kute Tebatseghut, Kute-agung, Kute Menteralam dan lain-lain. Pada pertempuran di kute-kute tersebut terlihat bahwa prajurit-prajurit Besemah lebih memilih kemungkinan mati daripada menyerah, terutama pada pertempuran di Tebatseghut dan Menteralam. Setelah mengalahkan perlawanan di daerah Besemah Libagh (Besemah Lebar), pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Besemah Ulu Manak untuk menangkap tokoh-tokoh pemimpin Besemah yang bersembunyi di daerah ini.
Kekalahan ini menyebabkan rakyat Besemah harus tunduk kepada peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda. Misalnya, mereka harus membayar pajak tanah, pajak rumah, menghentikan perdagangan budak, dan menghentikan kebiasaan menyabung ayam. Peraturan dan ketentuan-ketentuan itu merupakan hal baru dan sangat memberatkan bagi orang-orang Besemah yang tidak ada sebelumnya. Hal ini berarti, status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” menjadi hilang Dengan kekalahan tersebut, mulailah daerah Besemah dijajah Belanda dengan segala penderitaan dan kesulitan ekonomi. Penderitaan ini berlangsung hampir selama 82 tahun.
Perang Pasifik
Kekuasan Belanda yang tampak sangat kuat, dengan mudah dikalahkan oleh balatentara Jepang pada Perang Pasifik di bulan Februari 1942. Pertahanan Sekutu di Laut Jawa dapat dipatahkan. Pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di kepulauan Indonesia. Menyerahnya Belanda kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942, menyebabkan Belanda kehilangan jajahannya di Indonesia.
Di Bawah Penjajahan Jepang
Mulailah babak baru dalam sejarah Indonesia, yakni Indonesia dijajah oleh bangsa Jepang. Rakyat Indonesia semakin menderita di bawah kekuasaan Jepang. Balatentara Jepang ternyata lebih kejam bila dibandingkan dengan kolonialis Belanda. Jepang yang pada awal Perang Asia Timur Raya sangat opensif, berubah menjadi defensif dan tertekan oleh kekuatan Sekutu, sehingga terdesak di berbagai front pertempuran, termasuk di wilayah Indonesia.
Gyugun Kanbu
Untuk mengatasi kekurangan pasukan, Jepang membentuk satuan militer pribumi, yaitu yang disebut Gyugun Kanbu (Infanteri Gyugun). Angkatan pertama Gyugun dilatih di Kota Pagaralam, tepatnya di Balai Istirahat, di belakang rumah sakit Juliana (Juliana Hospital), di jalan ke arah dusun Pematangbange. Dari pusat latihan Gyugun di Pagaralam dihasilkan prajurit dan perwira-perwira yang cakap dan terampil dalam menggunakan senjata, mengatur strategi perang serta teknik-teknik berperang yang kemudian sangat bermanfaat dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Faktor inilah dapat dijadikan sebagai salah satu dasar kriteria untuk menyebut Pagaralam sebagai “Kota Perjuangan”.
Proklamasi Kemerdekaan
Akhirnya Jepang menjerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya (17 Agustus 1945). Tidak semua daerah mengetahuinya pada tanggal tanggal sama, Oleh karena itu pulalah upacara penaikan bendera sang Merah-Putih, tidak sama waktunya antara satu daerah dengan daerah lainnya, termasuk di Kota Pagaralam (tanggal 21-27 Agustus 1945). Upacara penaikan bendera dilaksanakan di halaman toko Datuk Seri Maharajo, ayah Sofjan Rasjad (sekarang Toko Disco). Tokoh-tokoh yang terlibat pada upacara penting itu adalah Kenasin, beberapa orang pemuda Hizbul Wathan, dan Al Munir Rt.
Pendirian KNID/BPKR
Di Pagaralam dibentuk KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah). KNID Pagaralam diketuai oleh M. Siddik Adiem, sedangkan tokoh-tokoh BPKR untuk Kewedanaan Tanah Pasemah, antara lain Harun Sohar, Ruslan, Djarab, Syamsul Bachri Umar, Hamid, Jemair, H. Mansur, Sanaf, dan Yunus.
Pertemuan di Tebat Limau
Sebagai suatu negara yang telah merdeka, Indonesia berusaha mengambil alih kekuasaan politik dan militer, terutama usaha untuk mengambil atau merebut senjata dari tangan Jepang, Mayor Ruslan mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan di Tebatlimau, dekat dusun Pelangkendiday yang dihadiri oleh semua unsur pemerintahan, KNID, wedana, polisi, para pesirah, kepala-kepala sumbay, dan pimpinan TKR/laskar.
Perebutan Senjata
Terjadi pertempuran-pertempuran dengan tentara Jepang di butai-butai Jepang di Gununglilan, Bumiagung, BPM Jerambah Beringin, dan Karangdale. Pada pertempuran-pertempuran di butai-butai Jepang tersebut telah gugur beberapa putera terbaik Besemah, antara lain Mayor Ruslan, Sersan Ansori, Serma Wanar, Musalim, Zainal, Salam, Tulip, Ming, Dung, Marzuki, Zainawi, Jinal, Kamal, Abdullah, Sayit, Kusim, Siakip, dan beberapa orang lainnya yang tidak tercatat. Diharapkan dalam lokakarya yang dilaksanakan hari ini, ada masukan tentang orang-orang yang terlibat.
Setelah balatentara Jepang menyelesaikan tugas yang diberikan Sekutu dan mereka dikembalikan ke tanah airnya, perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir. Belanda (NICA) datang kembali ke Indonesia. Terjadi pertempuran dengan pihak Sekutu/Belanda yang mencapai puncaknya pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam (PLLM) tanggal 1 Januari sampai dengan 5 Januari 1947, Agresi Militer I ( 21 Juli 1947) dan Agresi Militer II (19 Desember 1948). Rakyat Sumatera Selatan melakukan perlawanan sengit, sangat heroik, dan semangat rela berkorban yang sangat tinggi baik harta maupun nyawa, demi untuk mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan yang demikian termasuk juga di Kewedanaan Tanah Pasemah.
Peran Rakyat Besemah dalam PLHLM dan AM I
Pada Agresi Militer I Belanda, rakyat di Kewedanaan Tanah Pasemah belum secara langsung berperang di daerahnya karena Belanda belum berhasil sampai ke sana. Namun mereka telah ikut berperan pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam dan Agresi Militer I, yaitu berupa bantuan berupa bantuan personil (prajurit) dan logistik (beras dan sayur-sayuran). Memang sudah ada usaha Belanda untuk melakukan serangan ke Pagaralam (ibukota Kewedanaan Tanah Pasemah), tetapi niat ini tidak terjadi karena sudah ada Persetujuan Renville tanggal 27 Januari 1948. Berdasarkan persetujuan itu, ditetapkan garis demarkasi ditentukan dusun Tanjungtebat.
Perlawanan Rakyat di Tanah Besemah pada AM II
Pada Agresi Militer II Belanda (Desember 1948), ada tiga daerah yang menjadi target sasaran, yaitu Muaradua (sekarang OKU Selatan), Tebingtinggi, dan Pagaralam.Pertahanan Kota Pagaralam dibebankan kepada Batalyon XVI STP (Sub Teritorium Palembang) yang berkekuatan enam kompi, yaitu Kompi I Kapten Satar, Kompi II Lettu Ichsan, Kompi III Lettu Yahya Bahar, Kompi IV Lettu Nahwi, Kompi V Lettu Adenan Ibrahim, dan Kompi VI Vandrig H.S. Simanjuntak.
Untuk mempertahankan kota Pagaralam ini, dibentuk tiga front, yaitu Front Mingkik untuk menghadapi pasukan Belanda di luang Ndikat, Front Selangis untuk menghadapi pasukan Belanda yang akan masuk lewat simpang Rantau-unji, dan Front Padangkaghit (Onderneming kopi yang dulunya milik Belanda). Front Padangkaghit dipimpin Lettu Yahya Bahar. Untuk menghambat pasukan Belanda yang akan masuk lewat Tanjungtebat, Jerambah Ndikat terpaksa dihancurkan. Penghancuran ini dilakukan oleh prajurit Agam dan kawan-kawan.
Pimpinan pasukan Belanda yang sejak awal memperkirakan bahwa luang Ndikat sukar ditembus, juga melakukan pengiriman pasukan melalui jalan Jepang, yang bisa tembus ke Simpang Rantau-unji, Front Selangis, Front Padangkaghit, Kota Pagaralam, dan terus ke daerah Impit Bukit . Pasukan TNI, lasykar pejuang, dan rakyat, melakukan perlawanan sengit di Front Selangis Besar. Namun, karena persenjataan yang tidak seimbang, perlawanan ini dapat dipatahkan oleh Belanda. Pasukan TNI, lasykar, dan rakyat pejuang terpaksa melakukan gerakan mundur ke hutan-hutan, untuk selanjutnya melakukan perang gurilah (gerilya), melakukan penghadangan-penghadangan di tempat-tempat strategis dengan memasang landsmijn (ranjau darat).
Politik Bumi Hangus
Pihak TNI, lasykar, dan rakyat pejuang melakukan politik bumi hangus, terutama terhadap bangunan-bangunan milik Belanda, agar tidak dapat dipergunakan lagi oleh pasukan Belanda. Misalnya, pembumihanguskan bangunan di kompleks BPM Jerambah Beringin, Demperiokan, kantor wedana, tangsi polisi, dan bangunan-bangunan di Perkebunan Teh Gunung Dempo.
Peran Tanjungsakti
Tanjungsakti mempunyai peranan yang sangat besar, terutama setelah pimpinan teras TNI, yang sebelumnya bermarkas di Lubuklinggau, dipindahkan ke Curup, ke Muara-aman, dan akhirnya ke Tanjungsakti. Pimpinan teras TNI ini dipimpin oleh Kolonel Bambang Utoyo dan Kepala Stafnya adalah Kapten M. Yunus. Tanjungsakti juga menjadi pusat pemerintahan sipil Keresidenan Palembang yang dipimpin Residen Abdul Rozak. Demikian pula Bupati Amaluddin, Wedana Wani, Wedana Ibrahim, Wedana Abdullah Sani, Sidik Adiem (kepala penerangan), dan lain-lain berada di Tanjungsakti. Dari kepolisian Keresidenan Palembang terdapat nama-nama Komisaris Polisi Sugondo, Inspektur Polisi Taslim Ibrahim, Inspektur Polisi Abdullah Amaluddin. Inspektur Polisi Palma, Yasin, dan Cek Umar. Kepala penerangan dan kepala kesehatan juga berada di Tanjungsakti, serta masih banyak tokoh pejuang lainnya, misalnya Rasyad Nawawi, Satar, Nurdin, Syamsul Bachri Umar (Tatung), Idham, Djarab, Nurdin Ibrahim, Bachrun Umar, Basri, Ali Syarif, Sahid, Munir, Cek Asim, dan lain-lainnya. Dari Tanjungsakti dikendalikan pemerintahan dan pengaturan taktik dan strategi melawan Belanda. Untuk mengatasi kesulitan alat tukar, dicetak uang kertas “OERIP” (Oeang Repoeblik Indonesia Perdjoeangan).
Pasukan Belanda mengetahui tentang keberadaan pemerintahan sipil dan kekuatan militer di Tanjungsakti. Oleh karena itu, mereka melakukan serangan-serangan dengan menjatuhkan bom di beberapa tempat. Beberapa di antaranya meluluhlantakkan beberapa rumah. Tetapi banyak juga yang tidak meledak, yang kemudian digunakan oleh TNI sebagi bahan untuk merakit senjata guna melawan pasukan Belanda. Dapat dikatakan, bahwa Tanjungsakti tidak pernah diinjak oleh kaki tentara Belanda yang ingin menjajah kembali dan Tanjungsakti merupakan satu-satunya pertahanan di Kabupaten Lahat yang mampu bertahan sampai penyerahan kedaulatan bulan November 1949 (mendahului penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949).
Demikianlah kilas balik perjuangan rakyat di Kewedanaan Tanah Pasemah, mulai dari zaman “Lampik Empat Merdike Due”, “Sindang Merdike”, dan “Si Penjaga Batas”, hingga penyerahan kedaulatan, yang karena perlawanan gigih, ulet, dan pantang menyerah dari TNI, Lasykar, Tentara Pelajar, Pemuda Putri Besemah di Pagaralam di sekitarnya, serta rakyat pejuang pada umumnya, tanpa berlebihan dan tanpa perasaan chauvinisme, kita dapat menyebut Kota Pagaralam sebagai “Kota Perjuangan”. Sejarah yang sangat heroik ini perlu selalu dikenang dan dijadikan pedoman dalam mengisi kemerdekaan, juga tidak lupa akan selalu menghormati jasa para pahlawan, khususnya yang gugur di Tanah Besemah.
Tim Penyusun: Marzuki Bedur, A. Bastari Suan, Eka Pascal, dan Arif Nurhayat Permana
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/06/dari-lampik-empat-merdike-due-sindang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar