Kisah tentang penemuan pertama sering kali sarat dengan intrik, konflik, dan polemik. Seperti cerita-cerita dalam film. Tidak terkecuali, penemuan besar di masa lalu yang berhubungan dengan Indonesia. Sebagaimana cikal bakal teori evolusi yang secara politis mengangkat nama Charles Darwin dengan mengesampingkan Alfred Russel Wallace, sejarah penemuan bunga Rafflesia lebih mengagungkan Thomas Stamford Raffles dan Dokter Joseph Arnold daripada kontribusi historis seorang dokter bedah yang juga naturalis asal Prancis bernama Louis Auguste Deschamps.
Pada 1791, Deschamps berlayar dengan kapal Prancis bernama L’Esperance ke Samudra Oceania. Misinya, mencari kapal nahas La Perouse yang lenyap di kawasan itu. Alih-alih sukses, ekspedisi itu merana dihantam cuaca, penyakit, dan politik. Dari 119 awak, 89 di antaranya meninggal. Deschamps termasuk yang selamat, meski kapalnya disita Belanda di perairan Indonesia. Sebagai tawanan politik, kapasitas Deschamps sebagai naturalis dimanfaatkan Belanda. Dia diberi tugas menjelajah dan mencatat kekayaan flora di Jawa. Deschamps mengumpulkan banyak spesimen tumbuhan dan menuliskan draf awal “Material toward a Flora of Java”. Termasuk di dalamnya spesimen dan deskripsi sebuah bonggol yang saat mekar menjadi bunga raksasa, yang kelak dinamakan sebagai Rafflesia.
“Bonggol itu ia temukan di Pulau Nusakambangan pada 1797,” papar salah seorang penemu Rafflesia Bengkuluensis di era modern, Agus Susatya."
Setahun setelah penemuan itu, Deschamps pulang ke Prancis membawa semua koleksi temuannya. Masa itu, pasca-Revolusi Prancis, Napoleon Bonaparte membawa armada perang Prancis sebagai kekuatan ekspansif yang ditakuti di daratan Eropa. Deschamps kembali ke Prancis ketika negaranya masih berperang sengit melawan Inggris.
Sial tidak dapat dihindari, mendekati Selat Inggris, kapalnya ditangkap armada laut Inggris. Koleksi-koleksi berharga Deschamps dirampas. Para ahli botani Inggris terkesima melihat bonggol temuan Deschamps. Unik dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dengan latar belakang keagungan tradisi penemuan mereka di bidang ilmu hayat, para ahli Inggris itu menyembunyikan temuan Deschamps untuk “ditemukan kembali” oleh --siapa pun-- orang Inggris.
“Harus oleh orang Inggris. Bukan Belanda, apalagi Prancis,” kisah Agus yang telah menyusun sedikit nukilan cerita sejarah temuan Rafflesia --yang ia sarikan dari berbagai sumber-- itu dalam buku Rafflesia: Pesona Bunga Terbesar di Dunia (2011).
Dekat masa itu, orang Inggris paling berpengaruh di Hindia Belanda adalah Thomas Stamford Raffles. Ketika Kerajaan Inggris mengambil alih wilayah jajahan Kerajaan Belanda, ia mendapat promosi jabatan sebagai Gubernur Sumatera pada 1818. Raffles berteman baik dengan Dr. Joseph Arnold. Ia seorang ahli bedah yang menggemari penjelajahan. Ketika itu, Arnold telah menulis sejumlah jurnal dan mengoleksi serangga dari Amerika Selatan, Australia, dan Selat Sunda. Singkat cerita, Raffles menerima Arnold sebagai staf naturalis dalam rancangan ekspedisinya yang juga bertujuan mencari sumber rempahrempah dan hasil tambang itu. Arnold selama beberapa pekan belajar secara intensif di London, sebelum berlayar ke Bencoolen (Bengkulu) dan tiba di sana pada 22 Maret 1818. Selama dua hari ekspedisi itu menelusuri Sungai Manna (kini masuk wilayah administratif Kota Manna, Bengkulu Selatan), hingga akhirnya, pada tahun yang sama, Arnold pertama kali melihat jenis Rafflesia di sebuah kawasan bernama Pulo Lebbar (sekarang jadi nama administrasi desa di Kecamatan Pino Raya, 30 kilometer dari Kota Manna).
Dalam buku The Vegetable World (Harvard College Library, 1833), Charles William dan James Barber Dow mengutip ketercengangan Arnold lewat surat yang ia kirim untuk temannya, “Dengan bangga saya beritahukan kepada Anda sebuah keajaiban terbesar dalam dunia tanaman....” Sayangnya, belum lengkap Arnold mendeskripsikan temuannya itu, ia meninggal di Padang, Sumatera Barat, pada 26 Juli 1818, karena malaria. Sebagai gantinya, Raffles memanggil dokter dan naturalis lain, William Jack. Nama yang terakhir disebut ini lantas datang ke Bengkulu untuk mendeskripsikan temuan Arnold itu dan menamakan jenis itu sebagai Rafflesia titan. Catatannya dikirim ke London pada April 1820.
Dengan penyebab yang tidak diketahui pasti hingga kini, catatan Jack itu tidak langsung diterbitkan. Itu menurut sebuah versi sejarah. Pada masa yang sama, ada seorang naturalis bernama Robert Brown yang bekerja di London untuk mendeskripsikan bunga dan bonggol yang sama. Setelah temuan Arnold, menurut Agus, berdasarkan penelusuran catatan sejarah, bunga raksasa itu dan bonggol-bonggol spesimen yang telah dikumpulkan dikirim secara bertahap oleh Jack ke London. Bedanya Jack dari Brown: nama yang pertama disebut mendeskripsikannya langsung dari Bengkulu, sementara Brown melakukannya dari Inggris.
Pada 30 Juni 1820, Brown membacakan deskripsi temuan bunga ajaib itu di hadapan anggota Linnean Society of London dan menggemparkan jagat botani. Linnean Society adalah perkumpulan aktif para ahli biologi yang sangat legendaris; dengan tradisi paling tua di muka bumi. Dalam deskripsinya yang dipublikasikan pada 1821, Brown menamakan bunga jenis baru itu dengan Rafflesia arnoldii R.Br. Penamaan spesies pada kata “Rafflesia” dipilih untuk menghormati Thomas Stamford Raffles sebagai penggagas dan pemimpin ekspedisi. Sedangkan “arnoldii” diambil untuk menandai jasa Joseph Arnold yang melihatnya pertama di Bengkulu. Sementara itu, “R.Br” pada nama binomial itu merujuk pada inisial Robert Brown.
Versi sejarah lain menyebutkan, persoalan durasi penulisan dan pengiriman catatan dari Bengkulu ke London yang makan waktu lama, yang menyebabkan deskripsi Jack tidak segera dipublikasikan dan didahului oleh Brown. Catatan William Jack baru diterbitkan pada Agustus 1820. Dengan begitu, dunia, resminya, mengenal bunga langka hasil temuan menghebohkan itu sebagai Rafflesia arnoldii. Nama Rafflesia titan digunakan “hanya” sebagai sinonim. Dan empat tahun setelah catatan Robert Brown diterbitkan, C.L. Blume menamai jenis Rafflesia yang ditemukan Deschamps di Nusakambangan sebagai Rafflesia patma (1825). Blume adalah seorang Belanda keturunan Jerman yang saat itu menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor.
Source by :
Bambang Sulistiyo dan Joni Aswira Putra | GATRA
Pada 1791, Deschamps berlayar dengan kapal Prancis bernama L’Esperance ke Samudra Oceania. Misinya, mencari kapal nahas La Perouse yang lenyap di kawasan itu. Alih-alih sukses, ekspedisi itu merana dihantam cuaca, penyakit, dan politik. Dari 119 awak, 89 di antaranya meninggal. Deschamps termasuk yang selamat, meski kapalnya disita Belanda di perairan Indonesia. Sebagai tawanan politik, kapasitas Deschamps sebagai naturalis dimanfaatkan Belanda. Dia diberi tugas menjelajah dan mencatat kekayaan flora di Jawa. Deschamps mengumpulkan banyak spesimen tumbuhan dan menuliskan draf awal “Material toward a Flora of Java”. Termasuk di dalamnya spesimen dan deskripsi sebuah bonggol yang saat mekar menjadi bunga raksasa, yang kelak dinamakan sebagai Rafflesia.
“Bonggol itu ia temukan di Pulau Nusakambangan pada 1797,” papar salah seorang penemu Rafflesia Bengkuluensis di era modern, Agus Susatya."
Agus Susatya - Penemu Rafflesia bengkuluensis di Padang Guci |
Sial tidak dapat dihindari, mendekati Selat Inggris, kapalnya ditangkap armada laut Inggris. Koleksi-koleksi berharga Deschamps dirampas. Para ahli botani Inggris terkesima melihat bonggol temuan Deschamps. Unik dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dengan latar belakang keagungan tradisi penemuan mereka di bidang ilmu hayat, para ahli Inggris itu menyembunyikan temuan Deschamps untuk “ditemukan kembali” oleh --siapa pun-- orang Inggris.
“Harus oleh orang Inggris. Bukan Belanda, apalagi Prancis,” kisah Agus yang telah menyusun sedikit nukilan cerita sejarah temuan Rafflesia --yang ia sarikan dari berbagai sumber-- itu dalam buku Rafflesia: Pesona Bunga Terbesar di Dunia (2011).
Dekat masa itu, orang Inggris paling berpengaruh di Hindia Belanda adalah Thomas Stamford Raffles. Ketika Kerajaan Inggris mengambil alih wilayah jajahan Kerajaan Belanda, ia mendapat promosi jabatan sebagai Gubernur Sumatera pada 1818. Raffles berteman baik dengan Dr. Joseph Arnold. Ia seorang ahli bedah yang menggemari penjelajahan. Ketika itu, Arnold telah menulis sejumlah jurnal dan mengoleksi serangga dari Amerika Selatan, Australia, dan Selat Sunda. Singkat cerita, Raffles menerima Arnold sebagai staf naturalis dalam rancangan ekspedisinya yang juga bertujuan mencari sumber rempahrempah dan hasil tambang itu. Arnold selama beberapa pekan belajar secara intensif di London, sebelum berlayar ke Bencoolen (Bengkulu) dan tiba di sana pada 22 Maret 1818. Selama dua hari ekspedisi itu menelusuri Sungai Manna (kini masuk wilayah administratif Kota Manna, Bengkulu Selatan), hingga akhirnya, pada tahun yang sama, Arnold pertama kali melihat jenis Rafflesia di sebuah kawasan bernama Pulo Lebbar (sekarang jadi nama administrasi desa di Kecamatan Pino Raya, 30 kilometer dari Kota Manna).
Dalam buku The Vegetable World (Harvard College Library, 1833), Charles William dan James Barber Dow mengutip ketercengangan Arnold lewat surat yang ia kirim untuk temannya, “Dengan bangga saya beritahukan kepada Anda sebuah keajaiban terbesar dalam dunia tanaman....” Sayangnya, belum lengkap Arnold mendeskripsikan temuannya itu, ia meninggal di Padang, Sumatera Barat, pada 26 Juli 1818, karena malaria. Sebagai gantinya, Raffles memanggil dokter dan naturalis lain, William Jack. Nama yang terakhir disebut ini lantas datang ke Bengkulu untuk mendeskripsikan temuan Arnold itu dan menamakan jenis itu sebagai Rafflesia titan. Catatannya dikirim ke London pada April 1820.
Joseph Arnold |
Pada 30 Juni 1820, Brown membacakan deskripsi temuan bunga ajaib itu di hadapan anggota Linnean Society of London dan menggemparkan jagat botani. Linnean Society adalah perkumpulan aktif para ahli biologi yang sangat legendaris; dengan tradisi paling tua di muka bumi. Dalam deskripsinya yang dipublikasikan pada 1821, Brown menamakan bunga jenis baru itu dengan Rafflesia arnoldii R.Br. Penamaan spesies pada kata “Rafflesia” dipilih untuk menghormati Thomas Stamford Raffles sebagai penggagas dan pemimpin ekspedisi. Sedangkan “arnoldii” diambil untuk menandai jasa Joseph Arnold yang melihatnya pertama di Bengkulu. Sementara itu, “R.Br” pada nama binomial itu merujuk pada inisial Robert Brown.
Versi sejarah lain menyebutkan, persoalan durasi penulisan dan pengiriman catatan dari Bengkulu ke London yang makan waktu lama, yang menyebabkan deskripsi Jack tidak segera dipublikasikan dan didahului oleh Brown. Catatan William Jack baru diterbitkan pada Agustus 1820. Dengan begitu, dunia, resminya, mengenal bunga langka hasil temuan menghebohkan itu sebagai Rafflesia arnoldii. Nama Rafflesia titan digunakan “hanya” sebagai sinonim. Dan empat tahun setelah catatan Robert Brown diterbitkan, C.L. Blume menamai jenis Rafflesia yang ditemukan Deschamps di Nusakambangan sebagai Rafflesia patma (1825). Blume adalah seorang Belanda keturunan Jerman yang saat itu menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor.
Source by :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar